My Sweet Home
Waktu
menunjukkan pukul 8 malam.
[lagi-lagi
aku ketiduran dikamar bunda] batinku, sementara mataku tertuju pada lukisan
dinding kamar bernuansa vintage dimana aku tersungkur.
“mimpi
itu lagi ya, awh punggungku sakit” rintihku yang baru saja jatuh dari ranjang.
Suasana langit mendung pada malam ini menggambarkan seakan semesta ingin meluapkan kemarahan atas keserakatan penduduk bumi, ribuan air hujan mulai berjatuhan dengan sedikit emosi sang gemuruh tidak jauh beda dengan apa yang aku rasakan setiap kali mengingat kecelakaan keluargaku 2 tahun silam yang merenggut senyum hingga nyawa orang tersayangku.
Namaku
Sherin, saat itu aku kuliah pada salah satu universitas di Jakarta, sejak kecil
aku tinggal bersama kakak laki-lakiku namanya Abiyya, tak jarang orang bilang
kalau dia itu brother-able, yaap itu memang benar, dia segalanya buatku,
disatu waktu bisa jadi teman, orang tua, bahkan biasku, kalau kalian bertanya
apa nama fandomnya, itu masih kupikirkan.
“sherin
cepet turun, sarapan sudah siap”
“sebentar
mas, aku pinjam jaketnya ya” ucapku bergegas menyusuri anak tangga dengan jaket
mas abi ditanganku.
“iyaaa,
jangan sampai ketinggalan ya rin” katanya sambil memberiku sepiring makanan.
“waaahh
lezat, sepertinya mas abi sudah cocok untuk jadi…. ” belum selesai aku
berbicara sudah terpotong oleh ucapannya.
“jadi
juru masak di dapur kerajaan sunda empire kan” katanya.
“bukaan,
sudahlah mas umurmu ini sudah sangat matang untuk berkeluarga” ucapku dengan
nada bercanda sambil merampas ayam dari piringnya.
“terus
saja teruss, coba deh sehari saja tidak mengganggu kakakmu ini” katanya.
“wleee
tidak bisa tuh” ucapku sambil menyipitkan mata dan menjulurkan lidah.
Seperti
itulah rutinitasku setiap pagi, ibuku Dena Thisare dan ayahku Adiratna Aylmer,
mereka sibuk dengan urusan bisnisnya dibeberapa negara, sesekali singgah di
Jakarta untuk melihat langsung keadaanku dan kak abi, itupun tidak lebih dari 3
hari, sempat terlintas dibenakku bahwa tanpa orang tuapun aku masih bisa
menjalani hariku dengan baik, hanya aku dan mas abi.
Pagi
ini langit terlihat sangat cerah, ditambah lagi dengan iringan lagu Daniel
Caesar – Best Part yang disetel pada mobil Ferrari berwarna merah yang kami
naiki saat ini, percayalah sepanjang jalan tadi merupakan part terbaikku hari
ini sebelum masuk pada kehidupan kampus yang menurutku cukup membosankan.
“jangan
lupa fokus belajar dan catett materi yang dijelasin dosen ya rin”
“okee
siapp, mas juga jangan lupa makan siang ya” ucapku kemudian mencium tangannya
dan keluar dari mobil tersebut.
“ooh
tentu dong” katanya sambil menunjukan pose jempol.
“oh
iya hari ini mas ada lembur, nanti kamu pulang bareng harris ya” lanjutnya.
“iyaaaa,
yaudah sana nanti telat loh” ucapku, aku
dapat melihat energi positifnya terpancar ketika dia melambaikan
tangannya, membuatku ikut bersemangat untuk memulai hariku.
Saat
ini aku seorang diri dirumah, waktu menunjukkan pukul 10 malam dan mas abi
belum pulang, perasaanku tidak enak walaupun aku tau hari ini dia lembur, tapi
seharusnya jam segini sudah sampai rumah paling tidak dia mengirimkanku pesan.
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumussalam,
mas” ucapku sambil mencium tangan mas abi, batinku tak henti mengucap syukur,
mendengar suaranya saja seakan membuat separuh beban pikiranku hilang.
“tumben
belum tidur dek” aku bisa melihat senyuman mengukir pada wajah lelahnya.
“belum
ngantuk, oh iya mas sudah makan kan?” hampir saja aku lupa bertanya, karna bisa
saja kesibukan membuatnya lupa akan hal itu.
“tenaaang,
sudah dong” ucapnya sambil mengacak-acak poniku lalu pergi, mungkin dia mengira
aku akan membalasnya, padahal mana tega aku mengusiknya dengan wajah lelahnya.
“jangan
lupa matiin TV-nya, langsung tidur jangan main HP” teriak mas abi dari kamarnya
di lantai 2.
“iyaaaa,
aku otw bedroom” sahutku tak kalah kencang, kakakku ini memang bawel ya.
Hari
minggu, waktu menunjukkan pukul 8 pagi,
Drrtt..
drrrtt… drrtt… [bunyi ponsel mas abi]
“mas
ada telfon dari ayah” teriakku dari ruang tamu.
“angkat
sajaa, mas lagi masak kalo ditinggal nanti gosong” sahutnya.
----------
dialog telfon ----------
[Assalamu’alaikum,
biy]
“wa’alaikumussalam,
ini sherin kenapa yah?”
[kakakmu
mana de, tolong jemput kami dibandara sekarang ya]
“mas
abi lagi masak, okee yah”
[iyaa
ditunggu, bilang kakakmu jangan ngebut bawa mobilnya ya, hati-hati dijalan de]
“eeeh
sebentar yah, bunda mana?”
[ada
disamping ayah nih, …bun dede mau ngomong]
[kenapa
sayaang?] entah kenapa suara bunda selalu berhasil membuat
batinku terasa tenang.
“bunda
tidak lupa kan pesananku, lego limited edition yang waktu itu aku
bilang”
[nggak
dong sayang, bunda nggak akan lupa beliin oleh-oleh kesukaan kamu]
“yesss
okee bun, sherin tunggu yaa, love you bunda”
[love
you too, sweetie]
---------
“mas
disuruh jemput ayah sama bunda di bandara”
“okee
kalo gitu kita sarapan nanti saja ya, kamu mau ikut ngga?”
“humm aku tunggu rumah saja deh, hati-hati dijalan yaa, jangan ngebut” ucapku, sekedar menyampaikan pesan ayah karna aku tahu mas abi bukan tipe orang yang suka mengemudi dengan laju tinggi jadi dapat kupastikan ayah dan bunda sampai tujuan, sudah 3 bulan mereka tidak pulang ke Jakarta, syukurlah hari ini rasa rinduku terobati.
Tapi
aku keliru, melupakan satu hal bahwa musibah dapat terjadi kapan saja kepada
siapapun. bahkan tinggi rendahnya laju mengemudi bukan satu-satunya faktor
kecelakaan lalu lintas Aku mendapat
kabar dari kepolisian, mobil keluargaku menjadi salah satu korban kecelakaan yang
terjadi di Tol Jagorawi akibat pengemudi lain yang mabuk saat menyetir,
mirisnya hanya keluargaku yang terkena dampak paling parah. Dadaku terasa
sesak, aku menjatuhkan ponselku, tanpa sadar air mataku mulai berjatuhan, sejak
kapan ruang tamu ini terasa sangat hampa.
Aku bergegas menuju rumah sakit menggunakan mobilku yang terparkir rapih di garasi, sudah lama aku tidak mengemudi, ini darurat, kutancapkan gas seperti orang kesetanan, kali ini akal sehatku tidak berfungsi, tapi batinku tak henti berdo’a.
“bagaimana dengan kondisi
keluarga saya dok?”
“pasien atas nama abiyya sudah
melewati masa kritisnya dan akan segera dipindahkan ke ruang rawat inap, hanya
saja pasien mangalami kelumpuhan dan kemungkinan besar kondisi psikologisnya
juga ikut terganggu” ucap dokter.
Diriku terdiam sejenak,
mungkinkah setelah ini aku masih bisa melihat senyumnya yang antusias setiap
kali aku memuji masakannya.
“lalu bagaimana dengan orang
tua saya dok?” berharap hanya kabar baik yang diucapkan sang dokter, aku mohon.
“maaf kami sudah berusaha
semaksimal mungkin tapi pesien tidak dapat tertolong, mereka kehilangan banyak
darah”.
“tidak tidak, dokter pasti
keliru kan, ayah bunda sherin pasti kuat dok” batinku sangat sakit.
“kami turut berduka cita ya
mbak”
Ya Tuhan kenyataan macam apa yang sedang kuhadapi, seakan ruangan ini dipenuhi air sampai-sampai aku kesulitan bernafas, aku sudah biasa hidup sendiri tapi bukankah ini terlalu kejam?
Tepat hari ini, 2 tahun sejak
peristiwa kecelakaan terjadi, hari demi hari kujalani tanpa sosok orang tua yang
biasanya tidak pernah absen menelfon setiap malam, sekedar bertanya hari
seperti apa yang baru saja kami lalui. Mas abi sampai saat ini masih sering
melamun, sudah tak pernah lagi kulihat senyumnya, aku merawatnya, mengantarnya
untuk terapi kesembuhan fisik dan psikologisnya, kata dokter kesehatannya sudah
pulih jadi mulai hari ini kak abi tidak perlu lagi untuk bolak-balik terapi.
Saat ini aku sedang duduk
bersantai dihalaman rumah memandang gemerlapan bintang pada langit malam
bersama kakak tersayangku, mas abi.
“de bunda pernah bilang tepat
sebelum mobil kita kecelakaan, mereka memutuskan untuk menetap di Jakarta, mau
lebih dekat kita katanya, saat itu mereka sadar kalau terlalu sibuk dengan
pekerjaan, sadar bahwa dengan materi saja nggak cukup untuk kita, mereka gamau
kita tumbuh berbeda dari anak-anak yang mendapatkan kasih sayang penuh dari
orang tuanya” ucap mas abi masih dengan tatapan kosong, hanya terasa raganya
yang ada disebelahku, entah dimana jiwanya saat ini.
Aku hanya bisa terdiam
mendengarnya, aku tidak menyangka betapa mereka sangat menyayangi kami. Jujur
saja aku kesulitan menjalani ini semua sendirian, aku baru sadar mereka sangat
penting dalam hidup kami.
“maafin sherin mas” ucapku lirih, kemudian menaruh mas abi dalam dekapanku, segera ku usap butiran air mataku yang mulai berjatuhan, aku tidak mau mas abi melihat kesedihanku.
Beberapa
hari belakangan mas abi selalu menunggu kepulanganku, Harris sahabatku dia yang
kumintai tolong untuk menjaga mas abi disaat harus lembur bekerja, berkat dia
kondisi psikologis mas abi semakin membaik. Rumah masih menjadi tempat ternyaman
bagiku, terlebih lagi senyum mas abi yang selalu menyambutku ditengah-tengah
lelahnya dunia pekerjaan yang kulalui.
Satu
hal yang yang perlu kalian ketahui,
“A
house is made of walls and beams, but a home is built of love and dreams”
-Ralph
Waldo Emerson-
Tuhan, tolong jaga ayah bunda sherin disana.
Karya Anisa Mufida Gizi'20
Komentar
Posting Komentar