Malam Kelabu di Batas Desa

Oleh : Riska Niddyasuci R. (Anafarma )

Cerita ini dibuat karena terinspirasi dari korban keganasan letusan Gunung Merapi tahun 2010 dan pada warga sekitar lereng yang enggan untuk meninggalkan desanya dan memilih menetap di sana. Cerita ini hanya karangan penulis saja tentang bencana alam itu. Terima kasih, semoga terhibur.

Foto : Google.net 
Aku masih ingat malam itu, kami masih bersenda gurau diteras rumah kami di daerah pinggir desa, Daerah Istimewa Yogyakarta. Bintang-bintang bertaburan di atas langit kotaku. Seperti biasa bapak sedang berdongeng tentang masa kecilnya dulu saat antek-antek Belanda masih di kota kami, maklum dulu bapak hidup dimasa penjajahan.

"Dulu waktu Bapak masih muda banyak anak-anak yang ndak(1) bisa sekolah. Bapak saja ngangon wedus(2) banyak suara tembakan.  Mau nyuci dikali banyak mayat yang ngapung, ada juga yang diselipkan dibatang pohon pisang, Bapak suka ngeri lihatnya. Dulu suasana ndak seaman ini nak." Ucap bapak sambil menyeruput kopi hangat dalam cangkirnya yang masih mengepul. Kami, anak-anaknya dengan setia mendengarkan cerita bapak. "Bapak dulu sempat mau  jadi TNI bela negara bareng Pakde Dirman." Ucap bapak lagi. Kami masih khidmat mendengarkan cerita bapak. "Pak, lalu kenapa Bapak nggak jadi ikut TNI?" Ucap kaka sulungku, Mas Tiyo. "Lah, wong Mbahmu dulu ndak ngijinin Bapak jadi abdi negara. Takut ketembak terus ndak balik pulang katanya." Kata bapak sambil tersenyum, mungkin sambil mengingat-ingat kejadian itu. Bapak melanjutkan ceritanya sampai malam mulai larut dan suara jangkrik semakin menemani malam ini.

Kami jarang sekali berkumpul dirumah ini dan mengobrol bersama bapak, semenjak semuanya sibuk mengadu nasib di kota besar. Baru saat inilah kami bisa pulang dan berkumpul semua. Makanya, kami tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Kami tiga bersaudara, masku Tiyo, aku dan si bungsu Dik Rahma. Ibu telah lama meninggal dan bapak tinggal sendiri disini. Kami sudah menyuruh bapak untuk tinggal bersama kami. Tapi, bapak selalu menolak, alasannya, “Ndak mau nyusahin. Wong(3) Bapak juga punya rumah kok disini. Di kota, Bapak susah kalo kangen Ibumu. Bapak juga bosan ndak bisa ke sawah." Ucapnya waktu itu.

Kami sering tidak tega melihat bapak yang sudah sepuh harus tinggal didesa sendirian, apalagi rumah ini ada di pinggir desa yang cukup sedikit penduduk. Tepatnya rumah bapak ada dikaki lereng Gunung Merapi. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh  malam. Cerita bapak sudah selesai sejak beberapa menit yang lalu, si bungsu Rahma juga sudah masuk ke kamarnya sejak tadi. Mas tiyo ada acara Temu Kangen dengan teman SMA nya, jadi sudah pamit sejak satu jam yang lalu. Aku pun ingin beranjak tidur dan pamit sama bapak. Tiba-tiba bapak ingin berbicara kepadaku. "Ren kamu kan sekarang sudah besar toh(4)? Kamu juga udah punya istri. Kamu sudah bisa jadi contoh yang baik juga buat adikmu, Rahma. Nah, Bapak pesen sama kamu seandainya Bapak sudah ndak ada. Rumah ini jangan kamu jual yo(5). Banyak kenangan yang terjadi dirumah ini. Kamu jaga baik-baik, kalau seandainya wes nganti bobrok ancur yo mbok didandani, ojo ditinggal. Nek isoh digawekke(6) sekolah buat anak-anak sini, biar pada bisa sekolah, itu pesen Ibumu." Ucap bapak. "Husss, ndak boleh ngomong begitu Pak. Bapak harus hidup sampai Rahma menikah Pak. Bapak ndak mau lihat Rahma Menikah?" Ucapku yang tidak mengerti ucapan bapak.

"Namanya umur kan ndak ada yang tahu kan Ren. Kamu ini ndak bisa ngatur kehendak Illahi." Ucap bapak lagi menasehati. "Sudahlah Pak,kayaknya Bapak sudah ngantuk ngomongnya kok ngelindur?" Ucapku yang tak sanggup jika bapak benar-benar pergi meninggalkan kami. Bapak hanya diam saja. Tapi saat aku mau masuk kedalam kamar bapak bicara lagi, "Kalo misal Bapak ndak berumur panjang. Kuburkan Bapak disamping makam ibumu ya, Ren." Katanya, sambil meninggalkanku yang terpaku menatap punggung renta bapak dari belakang. Punggung yang dulu kokoh mencari nafkah untuk ibu dan anak-anaknya agar jadi orang yang berhasil seperti saat ini.

Esoknya kami pamit pulang ke Jakarta untuk melanjutkan kesibukan kami di sana. Kepulangan kami diwarnai dengan tangis haru, karena kami  enggan untuk pulang. Aku merasa ingin kembali dimasa saat aku kecil dulu, di mana bapak dan ibu masih ada dan kami masih kecil. Ah, aku sangat ingin kembali kemasa itu. Setelah pamit kami pulang ke Jakarta menggunakan mobil Mas Tiyo karena sebelum ke sini Mas Tiyo maksa pake mobilnya saja. "Biar ndak ribet dek. Kalo kamu bawa, Rahma bawa, pekarangan Bapak ndak muat dek." Ucapnya. Kami pun melambaikan tangan ke bapak yang semakin lama sudah tak kelihatan karena mobil kami telah melaju menjauhi rumah bapak.

Sehari setelah itu, kami mendengar Gunung Merapi mulai aktif. Aku langsung menghubungi bapak dan menyuruhnya mengungsi. Tapi bapak bilang, “Ndak apa-apa.”  Aku, mas Tiyo dan Rahma terus membujuk bapak untuk mengungsi, tapi bapak terus berkilah. "Bapakmu ini sudah tua kalau sudah waktunya meninggal,  ya meninggal saja. Bapak ndak mau ninggalin makam Ibumu." Ucapnya di telepon. Kami ingin pulang dan mengajak bapak ke Jakarta saja. Tapi kesibukan dan jalur menuju rumah bapak yang sudah tak dapat ditempuh karena erupsi gunung yang telah membuat akses jalan ditutup. Kami bahkan telah meminta BASARNAS untuk mengevakuasi bapak untuk diungsikan, tapi bapak tetap menolak. Kami disini sangat was-was dan takut bapak kenapa-napa.

Dua hari setelahnya kami membaca dikoran, “Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (30/11/2010), 61.154 orang mengungsi, 341 orang tewas, dan 368 orang harus rawat inap. Amukan awan panas dan material jatuhan menyebabkan 3.307 bangunan rumah, sekolah, puskesmas, dan pasar rusak. Nilai kerugian mencapai Rp 4,23 triliun,” juga dari sumber internet, "Kita tidak tahu apakah letusan 2010 merupakan akhir dari letusan besar yang dimulai dari tahun 2006 atau justru awal dari letusan yang lebih besar.” Berita itulah yang kami dengar, setelah itu kami mengonfirmasi kepada pihak BASARNAS dan ternyata bapak termasuk korban letusan tersebut, karena rumah bapak hanya berjarak 10 km dari Gunung Merapi.

Bapak ditemukan meninggal didalam rumah sedang memeluk kain peninggalan ibu. berita ini kami dapat  satu bulan sesudahnya, ketika jasad korban keganasan Gunung Merapi bisa dievakuasi termasuk jasad bapak. Kami merasa sedih dan merasa tak becus mengurus bapak. Hal itu pun membuktikan bukti cinta bapak selama ini buat ibu dengan tidak meninggalkan rumah kenangan mereka dan meninggal sambil memeluk kain ibu.

Diderai suara tangis kami melepas kepergian bapak, aku baru sadar ternyata malam itu bapak ingin menyampaikan itu padaku. Akhirnya aku bercerita pada dua saudaraku, kejadian malam itu dan kami melakukan permintaan terakhir bapak tersebut dengan mendirikan sekolah bekas rumah kami yang dikelola kepala desa dan menyemayamkannya disamping makam ibu.

 Sekarang aku mengerti pesan bapak malam itu. Bapak telah berpulang dengan tenang. Mungkin, sekarang ia tengah tersenyum pada kami melihat anaknya yang telah sukses. Malam itu ternyata malam terakhir kami mengobrol banyak dengan bapak dan itu Malam kelabuku dibatas desa. Kenangan yang sampai saat ini terus terngiang diingatanku.


Keterangan : (1) Tidak   (2) Mengembala kambing   (3) Orang   (4) Kan?   (5) Ya   (6) Kalau seandainya sudah rusak ya tolong dibeneri jangan ditinggal. Kalau bisa dibikinin

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SARAPAN PAGI ITU, PENTING!

Mengulik Organisasi di PKJ 2 dan Pentingnya Berorganisasi

Dies Natalis ke-15 Hadirkan Konsep Berbeda