Cerpen : Kaliko


Dikirim oleh       : Ezio Danoza
Jurusan               : Farmasi ‘13

Pernah dimuat di majalah Lentuna edisi Mei 2015


Ilustrasi Kaliko | Shabrina

***
Aku berjalan perlahan sambil memerhatikan langkahku. Aku meremas sepatu yang kupegang. Pasangan sepatu itu hilang entah kemana saat aku memeriksa lokerku pulang  sekolah tadi. Aku yakin satu di antara anak-anak nakal yang sering menjahiliku itu yang menyembunyikannya.

Aku tidak mau susah-susah mencari sepatu itu. Aku tidak mau memberi kesempatan anak-anak itu menertawakanku. Mataku panas, setetes air mata mengalir turun. Aku tidak mau menangis, tapi entah kenapa aku tidak bisa menghentikan air mata ini. Aku berbelok menuju toko nenek, aku tidak mau ibuku melihat aku menangis seperti ini.

Nenekku adalah pemilik satu-satunya toko boneka di kota ini. Beliau tinggal sendiri di toko yang sekaligus rumahnya ini sejak kakek meninggal. Tokonya penuh dengan berbagai boneka mulai dari boneka hewan hingga boneka-boneka berbentuk anak-anak yang menakutkan.

Aku berjalan sendiri memasuki toko. Toko ini sudah lama tidak buka sejak kematian nenek 1 tahun lalu. Sekarang akulah satu-satunya pemilik kunci toko ini. Nenek memberikannya padaku sebelum dia meninggal. Aku bermimpi jika sudah besar nanti aku akan meneruskan usaha nenek.

Pintu toko berderit, aku menghirup udara toko. Bau nenek masih memenuhi ruangan kecil ini. Air mataku mengalir semakin deras. Aku duduk di meja kasir di tempat biasanya nenek duduk menyambutku setiap kali aku datang.

Aku menangis sejadi-jadinya hingga aku tertidur. Aku tidak tahu berapa lama aku tertidur. Saat aku membuka mata, aku melihat cahaya metahari yang berwarna orange menembus kaca jendela toko. Toko tetap sepi. Aku bangkit dan berjalan menelusuri rak-rak boneka. Aku membayangkan nenek menyusun boneka-boneka itu sepenuh hati. Aku membayangkan nenek tersenyum padaku dengan boneka beruang di tangan kanannya.

Aku berhenti di depan sebuah lemari besar. Di dalamnya terdapat sebuah boneka kucing. Sepertinya boneka ini cukup istimewa sehingga nenek menyediakan lemari khusus untuknya. Aku membuka lemari itu dan meraih boneka  di dalamnya.

Boneka itu lembut seolah dia adalah kucing sungguhan.

“Jadi, apa yang kau sedihkan anakku?” Sebuah suara terdengar. Suara itu mirip dengan suara nenek.

“Nenek?” Aku langsung melihat ke sekeliling berharap nenek berdiri tak jauh dariku dengan senyum tersungging di wajahnya.

“Aku di sini anakku” suara itu terdengar lagi, kini aku dengan pasti mendengar bahwa suara itu berasal dari boneka kucing dalam pelukanku.
Kaget aku langsung melempar boneka itu ke lantai dan melompat mundur.

“Ugh, kau tidak perlu melemparku seperti itu anakku.” Boneka itu berdiri dan mendekat.

“Siapa kau? Mengapa kau bisa bicara?” aku meraih tongkat kayu yang tersandar di dinding di dekatku.

“Aku, aku adalah Kaliko. Boneka kesayangan nenekmu.

“Boneka kesayangan nenek?” aku menurunkan tongkat di tanganku

“Begitulah, jadi apa yang kau sedihkan? Kau boleh bercerita padaku kok, dulu nenekmu juga sering bercerita padaku.” Dia melompat ke atas meja dan mulai menjilat-jilat bulunya seperti kucing sungguhan.

Aku tahu ini adalah hal yang bodoh, bercerita pada boneka kucing yang bisa bicara. Tapi aku tidak bisa menahan diriku. Aku menceritakan semua yang kualami di sekolah. Kucing itu mendengar dengan tenang.

“Aku mengerti penderitaanmu, anakku, dulu nenekmu juga pernah mengalami hal seperti ini kau tahu.” dia tersenyum

“Benarkah? Bagaimana cara nenek menghadapinya?” tanyaku penuh semangat

“Awalnya dia juga menangis sepertimu, tapi akhirnya dia bangkit dan berbicara langsung pada anak-anak nakal itu. Dia dengan berani menghadapi anak-anak itu dan meminta mereka untuk berhenti mengganggunya. Dan akhirnya mereka berteman.”

“Aku telah berbicara pada mereka, tapi mereka tetap menggangguku.” Kataku merengut.

“Berarti kau tidak melakukannya dengan benar anakku, cobalah kau berbicara dengan mereka secara baik-baik, jangan dengan marah. Selain itu cobalah untuk berteman dengan mereka, cari teman sebanyak-banyaknya. Karena teman adalah perisai terbaik, anakku.” Jawabnya tenang. “Karena aku yakin seperti halnya nenekmu, kau juga tidak terlalu sering bermain bersama anak-anak seumurmu” Dia tersenyum lagi.

“Ya, kau benar, aku tidak suka bermain bersama anak-anak lain.” jawabku memutar-mutar rambutku dengan ujung jari.

“Di situlah masalahnya anakku, anak-anak nakal yang mengganggumu itu tidak bermaksud jahat padamu, mereka hanya ingin mengenalmu, dan berteman denganmu.” Dia melompat dari atas meja dan berjalan menjauh.

“Tunggu, Kaliko, kau mau kemana? Aku belum selesai!” teriakku.

“Semoga kau berhasil, gadis kecilku”. 

“KALIKO!!!” mataku terbuka lebar. Aku mendapati diriku duduk di meja kasir.

Aku memandang sekeliling mencari Kaliko. Aku tidak mendapatinya di manapun. Aku berlari menuju lemari tempat boneka kucing itu tersimpan.

Aku mendapati boneka kucing itu berdiri tenang di dalamnya. Lemari itu tertutup. Tidak ada tanda-tanda pernah dibuka sebelumnya.

Aku memandangi boneka itu lama. Aku tersenyum. Aku yakin tadi semua adalah cara nenek membantuku dari dalam mimpi. Aku berjalan keluar toko dengan senyum lebar di bibirku. Aku bertekad akan melakukan saran Kaliko besok. Semoga semua yang dikatakan Kaliko benar.

“Terima kasih nenek, terima kasih Kaliko” Bisikku.

Suasana hati yang senang saat itu membuatku tidak terlalu memerhatikan gerakan kecil dari arah lemari tempat Kaliko terpajang saat aku menutup pintu toko.

Aku pulang dengan hati lapang. Senang bercampur cemas mengantisipasi hari esok. Semoga semua nasihat Kaliko bisa berjalan lancar dan aku bisa mengucapkan selamat tinggal pada hari-hari suram yang penuh kesedihan dan rasa kesal.

Sesampai di rumah aku mendapati rumah sangat sunyi. Aku melirik jam tanganku, pukul lima sore. Mungkin ibu sedang pergi mengunjungi tetangga untuk bergosip atau mungkin juga beliau sedang di kebun belakang mengurusi tanaman kesayangannya. Soal kakak, aku tak ambil pusing. Laki-laki itu jarang berada di rumah jam segini. Oleh karena itu, seperti biasa aku langsung menuju kamarku. Tanpa melepaskan seragam sekolah, aku langsung merebahkan diri di tempat tidur.

Aku tak sadar kapan pastinya pikiranku berubah menjadi mimpi. Tapi yang pasti aku tertidur cukup lama masih dalam balutan seragam sekolah yang bau keringat. Saat aku membuka mata, langit di luar jendela telah berganti warna dari biru menjadi biru tua gelap. Melihat dari beberapa bintang terlihat mulai tampak bersinar, aku menarik kesimpulan hari sudah cukup malam. Mungkin jam 8?

Aku buru-buru melepas seragam sekolahku. Perutku lapar, aku belum makan apa-apa sejak tadi siang. Sejenak pikiranku melayang memikirkan masakan yang akan ibu hidangkan malam ini. Apapun itu, pasti sangat enak.

Saat membuka pintu kamar, aku terheran memandang ruangan di luar kamar sangat gelap. Tak satupun lampu menyala. Apakah ibu lupa menyalakan lampu? Tidak biasanya ibu seperti ini. Walau diselimuti rasa takut akan gelap, satu persatu aku menyalakan lampu rumah. Hingga terakhir ruangan keluarga yang merupakan ruangan terbesar di rumah ini.

*klik*

Pemandangan yang telihat di depan mataku saat lampu ruang keluarga menyala merupakan pemandangan yang tidak akan pernah aku lupakan. Dinding, lantai, langit-langit ruangan, serta semua perabot yang ada diselimuti warna merah. Di atas meja berjejer tiga buah bola berwarna hitam. Butuh beberapa detik bagiku untuk menyadari bola apa itu.

Ketiga bola itu adalah kepala ibu, ayah, dan kakakku. Kepala mereka terpenggal dan berbaris rapi di atas meja layaknya bola bowling yang menunggu giliran. Di atas sofa aku melihat potongan tangan dan kaki tersusun. Darah pekat mengalir ke lantai.

Aku tidak bisa bergerak sedikitpun. Aku ingin berteriak, tapi suaraku seperti hilang. Tenggorokanku tercekat, pikiranku kosong. Di dinding tertulis sebuah kalimat dengan huruf-huruf besar. ditulis dengan darah yang masih basah.

Ini bayaran untuk nasihat dariku anakku, kau beruntung tidak keluar dari kamar setelah kau pulang.
Kaliko.

Lututku lemas, aku jatuh terduduk memandangi semua yang ada di hadapanku. Aku tak ingin melihat semua ini lagi. Aku hanya ingin memejamkan mata dan berharap saat aku membuka mata lagi, aku mendapati diriku terbangun di kamarku. Berharap semua ini hanya mimpi.

Tapi mataku sendiri mengkhianatiku. Bahkan berkedipun aku tidak bisa, aku hanya memandangi semuanya hingga aku kehilangan kesadaranku.

Hingga aku terbangun di sebuah ruangan serba putih. Di sebelahku terdapat semacam monitor yang menunjukkan angka-angka dan garis yang tidak aku mengerti. Tubuhku dibalut pakaian berwarna hijau. Di salah satu tanganku terdapat sebuah selang yang terhubung ke sebuah tabung yang tergantung di tiang.

Dengan pandangan bingung aku menoleh ke kanan dan ke kiri.

Di luar jendela, 3 meter dari tempatku terbaring. Aku melihat jelas sosok seorang laki-laki berbaju hitam. Wajahnya tertutup bayangan topinya.Tubuhnya tidak begitu jelas, terutama bagian pinggang ke bawah. Seakan tubuhnya itu tebuat dari bayangan. Di pangkuannya dia membelai sesosok kucing belang tiga yang menatap kearahku. Kucing belang tiga yang kukenal. Mata kucing yang berbeda warna itu seakan tersenyum.

Aku menjerit sejadi-jadinya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SARAPAN PAGI ITU, PENTING!

Mengulik Organisasi di PKJ 2 dan Pentingnya Berorganisasi

Dies Natalis ke-15 Hadirkan Konsep Berbeda