Hai, Para Generasi Baru
Oleh : Rysha Dwi Septerini (Gizi)
Siapa
pun yang membaca ini, pastikan kalian adalah para generasi baru. Yap! Generasi baru!. Mau itu murid baru
yang baru masuk sekolah, mahasiswa baru yang baru masuk kuliah, ataupun pekerja
baru yang baru masuk kerja, dan lain-lain.
Tenang
saja. Cerita ini bukan untuk menggurui kalian, karena pada dasarnya aku juga
bukan guru ataupun dosen yang tiap hari selalu mengajari anak didiknya dengan
ilmu-ilmu yang pernah mereka dapat. Aku hanya seorang mahasiswi yang masih
kuliah di semester 5. Jadi anggap saja ini hanya cerita berbagi pengalaman.
Tidak-tidak. Bukan pengalaman yang hebat tentunya.
Aku
dari kecil sudah ditanamkan berbagai macam prinsip oleh orang tua aku. Mulai
dari ‘kamu harus baik kepada orang lain. Walaupun orang itu jahat terhadap
kita, kamu harus tetap baik,’ ‘kalau kamu ingin mempunyai semua yang kamu mau,
kamu juga harus bekerja dengan keras untuk mendapatkan semua yang kamu mau,’
hingga ‘kalau kamu salah, kamu harus meminta maaf. Jika kamu tidak salah, pilihannya
kamu harus diam jika kamu pengecut atau membela jika kamu pemberani’
Kalau
kamu salah, kamu harus meminta maaf. Jika kamu tidak salah, pilihannya hanya
dua. Kamu hanya diam jika kamu pengecut atau membela jika kamu pemberani.
Sampai
sekarang aku masih memegang teguh prinsip yang satu itu, walaupun beberapa
prinsip yang lainnya banyak yang menghilang lantaran prinsip tersebut terlalu
naif jika sampai sekarang harus dijalankan. Karena prinsip itu juga, aku
menjadi orang yang seperti saat ini.
Well,
kapan aku menggunakan prinsip tersebut dalam hidup aku?
Jawabannya,
hampir setiap hari.
Oke cerita mana yang
paling ingin kalian ketahui?
Bagaimana kalau cerita
tentang masa-masa orientasi aku saat menjadi murid baru dan mahasiswa baru? Ya!
Untuk kalian para generasi baru!
**********************
Juli, 2010
“Kenapa kamu dianterin
ke sekolah saat MOS?, kan udah dibilang jangan dianterin sampai sekolah!,” kata
Kak Nata, salah satu anak OSIS yang menjadi mentor aku di kelas pada saat Masa
Orientasi Sekolah Menengah Atas. Semua teman-temanku yang duduk di mejanya
masing-masing hanya terduduk sambil menunduk karena takut akan suara Kak Nata
yang sedang marah.
Sedangkan aku…
Ini memang pada
dasarnya aku yang tidak peka akan kemarahan Kak Nata sehingga aku tidak merasa
ketakutan karena ditegur oleh Kak Nata. Padahal aku sudah berbuat salah dihari
pertama aku menjalani kegiatan yang disingkat MOS ini.
Dianterin saat MOS
Tidak boleh diantar
oleh orang tua saat MOS adalah salah satu aturan yang dibuat oleh pengurus
OSIS. Hanya boleh diantarkan sampai radius beberapa meter, seperti hanya sampai
dekat rumah sakit dekat sekolah atau gang jalan ke arah sekolah. Nah, itu kata kakak mentor kelas kami
kemarin dan aku memang diantarkan sekolah sampai gang jalan yang kearah
sekolah. Tetapi kenapa aku masih saja disalahkan?
“Maaf kak, tetapi kata kakak mentor aku (maafkan, aku
lupa namanya) kemarin diperbolehkan diantar sampai gang depan sekolah,” belaku
kepada Kak Nata.
“Enggak kok aku gak ngomong gitu kemarin,” kata
kakak mentor yang menjelaskan perihal itu kemarin. Tanpa sungkan-sungkan
tatapan aku kepada kakak itu langsung melotot tanda tidak setuju dengan apa
yang dikatakan kakak itu.
“Tapi yang kakak katakan kemarin seperti itu kok,”
kataku tetap yakin dengan ingatanku terhadap perkataan kakak mentorku.
“Kamu berani ngelawan ya?,” kata Kak Nata dengan
suara yang ditinggikan.
“Maaf kak, aku gak melawan. Aku hanya membela diri aku.
Kalau aku tidak salah kenapa aku disalahkan?,” ucapku yang membuat tatapan Kak
Nata semakin tajam kepadaku. Melihat perdebatan kami yang tidak ada ujungnya,
Kak Ian, salah satu mentor, meredakan perdebatan kami.
“Sudah sudah, kalau seperti itu permasalahan tidak
akan selesai,” kata Kak Ian. Lalu dia mengambil kartu pengenal ku yang dipegang
oleh Kak Nata.
“Kalau memang kamu tidak merasa bersalah karena kamu
salah mendapatkan informasi dari kakak mentormu, kalau begitu kamu harus tahu
aturannya mulai besok jangan diantar lagi sampai depan gang sekolah. Jadi jangan
diulang lagi,” tegas Kak Ian yang hanya aku iyakan sambil mengangguk.
“Dan kartu pengenal ini, selama MOS adalah harga
diri kamu. Jadi kamu jangan berikan kepada siapapun apalagi kalau kakak-kakak
kelas kamu minta. Apakah kamu sudah dijelaskan aturan itu sama kakak mentor
kamu?”
Aku
langsung teringat akan aturan yang disampaikan oleh kakak mentor kelas kami.
Semua tanda pengenal, termaksud kartu pengenal yang dikaitkan ke kantung baju
sekolah kami, adalah harga diri kami. Tadi pagi saat berjalan ke sekolah, aku
dihadang oleh salah satu kakak mentor dan dia meminta kartu pengenal yang
terkait di bajuku. Awalnya aku enggan memberikannya karena katanya kalau kartu
pengenal ini harus dipakai kalau sudah sampai sekolah, tetapi kata kakak mentor
itu tidak akan diapa-apakan sehingga aku memberikan tanda pengenalku kepada
kakak mentor itu.
Ternyata,
maksudnya kartu pengenal ini adalah harga diri itu adalah tidak boleh diberikan
kepada siapapun.
“Kalau soal itu, sudah diberitahukan oleh kakak
mentor, Kak,” jawabku kepada Kak Ian.
“Kalau begitu untuk hari ini itu adalah salahmu.
Jangan diulang lagi”
“Baik Kak,” kataku yang menurut saja. Lalu Kak Ian
mengembalikan tanda pengenalku kepadaku.
Lalu
semua kegiatan MOS kembali berjalan seperti biasa dan tidak disangka sudah hari
terakhir MOS dilalui. Seperti biasa diakhir acara selalu ada salam-salaman dari
sesama peserta MOS hingga guru-gurunya. Aku salaman dengan Kak Nata lalu
terdiam lama.
“Selamat ya. MOSnya sudah selesai,” kata Kak Nata
kepadaku.
“Iya kak makasih,” kataku sambil berjabat tangan
dengannya.
“Kamu gabung OSIS ya. Pasti banyak yang dukung. Aku
suka ngelihat kamu jadi siswa baru tapi berani. Semangat ya buat kedepannya,”
Aku
tersenyum dengan perkataan kakak mentor aku waktu itu dan cepat-cepat berjalan
karena antrian untuk salam-salaman menunggu dibelakangku.
*******************
September, 2013
“Kamu jurusan apa?,” kata seorang laki-laki beralmet
biru kepada aku.
“Jurusan gizi kak,” kataku sambil tersenyum tanda
hormat kepada kakak itu.
“Oh, kalau begitu kamu lanjut saja jalan. Nanti kamu
datangi kakak yang beralmet logo warna oren ya”
Aku
hanya mengangguk mengiyakan perkataan senior itu. Lalu setelah aku berjalan
lebih jauh lagi, aku menemukan seorang laki-laki beralmet logo oren. Setelah aku
menghampirinya, tanpa aku menyapa, dia langsung menghampiri aku.
“Anak gizi ya?,” kata laki-laki tersebut.
“Iya kak, aku gizi,” kataku sambil tersenyum
Akung, aku tidak disenyumin balik. Malah ditatap
ketus.
“Sini kamu baris sama temen-temen kamu tuh,”
jawabnya
Saat
aku mengikuti instruksi dari kakak senior aku (kalau yang aku tebak sih
begitu), aku melihat teman-teman senasib aku pada menunduk melihat ke tanah.
Apa yang mereka lihat sih ditanah?
“Kamu nunduk, jangan ngelihat-lihat yang lain!,”
tegur kakak tersebut dengan keras sehingga membuat aku tiba-tiba menunduk.
Oh
iya, aku lupa kalau aku hari ini sedang menjalani Pra-PPSM atau bisa dibilang
awal-awalnya OSPEK gitu. Lalu ada seorang perempuan yang mendatangi kami dengan
berpakaian sama seperti laki-laki tersebut. Mungkin dia termasuk senior juga.
“Aku bilangin ya, kalau nanti ketemu kakak-kakak
yang berpakaian sama seperti aku. Kalian sapa sambil panggil Raka untuk
laki-laki sama Rakanita untuk perempuan. Jadi disapa seperti ‘pagi raka’ atau
‘pagi rakanita’. Mengerti?,” kami semua hanya mengangguk dengan perkataan
perempuan tersebut.
“Kok cuman ngangguk?, mengerti tidak?!,” tegas
perempuan tersebut dengan keras.
“Mengerti kak,” ucap kami semua satu baris bersama-sama.
“Kak..kak... Rakanita! Udah aku bilang kan tadi,”
ucap kakak itu.
“Baik Rakanita”
Lalu
kami digiring oleh kakak tersebut hingga tiba kami di jalan masuk kampus kami.
Disitu kami disambut oleh beberapa perempuan yang berpakaian sama dengan
perempuan yang mengantar kami.
“Sapa dek,” seru perempuan tersebut.
“Pagi Rakanita,” jawab kami bersamaan.
“Mana atribut kalian?,” kata perempuan yang lain
sambil memainkan selembaran kertas hingga tergulung ditangannya. Kami hanya
terdiam. Setahu aku, dari pengumuman yang tersebar di account official kampus hari ini tidak memakai atribut macam-macam.
“Mana atribut kalian? Kenapa pada gak kompakan gini
pakaiannya? Kalian gak dapet informasi apa-apa?,” lanjut perempuan itu karena
kami tidak ada yang menjawab.
Karena
tidak ada yang menjawab, akhirnya perempuan itu menanyakan satu persatu dari
kami. Saat giliranku sampai untuk ditanyakan, aku melihat tatapan perempuan itu
tajam, melihat dari ujung rambutku hingga ujung kakiku. Apa karena hanya aku
yang paling polos karena tidak memakai atribut sama sekali?
“Slayer kamu mana? Pita kamu mana?,” tanyanya
kepadaku.
“Maaf kak, yang aku tahu kalau hari ini belum
memakai atribut apapun,” jawabku sambil melihat perempuan tersebut.
“Kak lagi kak lagi! Dibilang gak sih tadi
dibilangnya RAKANITA!,” bentak perempuan tersebut. Membuat aku terkejut
dibuatnya. “Nunduk kamu. Udah salah banyak alasan lagi.”
Lalu
aku menunduk melihat ke lapisan aspal jalan yang sudah terkikis karena faktor
alam. Masih dengan perasaan takut, kesal, dan marah yang bercampur aduk di dalam
hati. Ya, memang OSPEK itu seperti ini. Aku berusaha meyakinkan diri aku
sendiri kalau aku pasti bisa menjalaninya.
Setelah
beberapa lama kali dibiarkan berbaris di jalan masuk kampus, kami digiring
kembali berjalan ke arah gedung jurusan sambil berbaris dan berpegangan pundak
teman satu sama lain. Yang lebih menyulitkan dari jalan sambil berbaris dan
berpegangan pundak teman satu sama lain ini adalah kami harus berjalan sambil
nunduk dan harus tetap menyapa Raka dan Rakanita yang ada di setiap jalan. Coba
kalian bayangkan bagaimana kita mau melihat adanya Raka dan Rakanita kalau yang
kami lihat hanya lapisan aspal yang tidak rata?
**************************
“Kamu gak tahu sopan santun ya?,” salah satu
Rakanita menegurku karena aku selalu beralasan akan kesalahan-kesalahan yang
aku perbuat.
“Maaf Rakanita, tetapi tadi kakak bertanya kenapa aku
tidak membuat tugas aku. Jadi aku menjawab kalau aku tidak mengerjakan tugas aku
karena aku tidak mendapatkan informasi kalau harus mengerjakan tugas tersebut,”
jawabku sambil menunduk.
“Memangnya ketua kamu gak ngejarkomin tugas-tugas
yang harus kamu kerjakan?”
“Maaf Rakanita, aku tidak mendapatkan jarkoman
apapun sejak tadi malam”
“Kamu gak dikasih tahu sama mentor kamu kalau ada
tugas?”
“Maaf Rakanita, yang aku tahu aku hanya harus
membawa makanan-makanan kecil yang harus dibawakan”
“Terus kalau gitu kenapa kamu gak nanya macam-macam
sama ketua kamu?”
Aku
terdiam dengan pertanyaan Rakanita tersebut. Masa aku harus menjawab kalau aku
tidak sempat berpikir untuk bertanya karena aku sibuk memperbaiki
kesalahan-kesalahan dari tugas-tugas yang diberikan mulai dari memperbaiki
name-tag dan melaminatingnya sendiri dengan setrikaan karena sudah tidak ada
toko fotocopyan yang masih terbuka hingga mencari-cari pita dengan warna yang
sesuai dengan yang diharuskan hingga malam?. Itulah nasib aku yang memiliki
rumah jauh dengan kampus ini.
“Jawab dek! Kok diem aja,” sahut Rakanita tersebut,
tetapi aku tidak bisa menjawabnya dengan alasan tersebut karena hal tersebut
sangatlah tidak mungkin.
“Kamu tuh udah mahasiswa dek, harus inisiatif
apa-apa nanya!. Jangan apa-apa disuapin terus. Kamu bukan anak SMA lagi yang
tiap hari dikasih kisi-kisi sama guru kamu. Bukannya cari-cari alasan karena
gak bisa ngerjain tugas-tugas yang kami berikan,” perkataan Rakanita tersebut
hampir menusuk ulu hatiku hingga aku merasa malu sekali dengan kesalahan yang aku
perbuat.
“Sudah tidak sopan, menjawab terus. Tahu sopan santun
gak dek? Kamu tuh baru MABA DEK!. Udah seenaknya membalas perkataan senior
kamu”
Untuk
perkataan yang terakhir ini, entah kenapa itu membuat aku sedikit kesal. Aku
masih bingung darimana titik-ketidaksopanan aku terhadap senior aku yang satu
ini. Rasa sakit yang aku rasakan di ulu hati aku berubah menjadi rasa kesal dan
marah karena terus menerus mendengar ocehan Rakanita itu. Tanpa mengurangi rasa
hormat aku, aku tetap dengan senang hati mendengar ocehan Rakanita tersebut
walaupun perkataan yang aku dengar sudah mulai bercabang entah kepersoalan yang
mana.
“Mengerti kalian semua?,” pertanyaan Rakanita tersebut
membuat kami semua membeo “Mengerti, Rakanita” seperti biasa.
“Apa ada pertanyaan?,” tanya Rakanita itu kembali.
Beberapa menit ditunggu tidak ada yang bertanya.
“Maaf Rakanita,” tiba-tiba suaraku keluar begitu
saja. Lalu tatapan Rakanita itu kembali melihatku.
“Ada apa?,” tanya Rakanita itu terhadap aku.
“Maaf Rakanita, aku ingin bertanya, seperti apa
sopan santun yang Rakanita inginkan?, karena setiap perkataan atau perbuatan aku
selalu dibilang tidak sopan maupun santun. Padahal aku selalu mengucapkan kata
maaf jika ingin menyela ataupun menjawab pertanyaan Rakanita. Aku selalu lakukan
apapun yang Rakanita katakan demi kebaikan aku walaupun aku selalu berbuat
salah. Aku selalu berkata maaf jika aku berbuat salah walaupun memang bukan
kata salah yang Rakanita butuhkan…,” Aku terdiam sejenak karena napas aku yang
sedikit terputus karena terlalu banyak berbicara. “Kalau menurut Rakanita
menjawab pertanyaan Rakanita yang bertanya kenapa aku tidak mengerjakan tugas
itu juga salah satu ketidak-sopan-santun-an yang Rakanita maksud…”
“sudah cukup,” potong Rakanita tersebut dan aku
berhenti berbicara. “waktunya makan siang. Kalau ada pertanyaan lain, dilain waktu
saja”
Aku
kembali terdiam dan menunduk ke aspal jalan kembali. Singkat cerita kami semua
,para peserta PPSM, digiring kembali ke auditorium untuk istirahat.
****************
Hari
terakhir PPSM, dan seperti biasa di penutup acara selalu ada salam perpisahan.
Kami para peserta PPSM bersalam-salaman dengan para dosen dan tentu juga kepada
para Raka dan Rakanita. Saat perjalanan pulang, kami berpegangan pundak teman
satu sama lain hingga membuat baris lagi tetapi yang ini berbeda, tidak ada
yang disuruh menunduk. Ya, memang hanya itu bedanya. Kami tetap harus menyapa
para Raka dan Rakanita kami tentunya.
Tidak
disangkah-sangkah, barisanku didampingi oleh Rakanita yang mengoceh pada saat
itu. Setelah kami berjalan hingga satu persatu dari setiap maba pergi karena
dijemput oleh orang tua masing-masing, aku akhirnya berpamitan kepada
teman-teman dan Rakanita karena aku sudah dijemput oleh ayahku.
“Rakanita, saya pamit dulu,” kataku kepada Rakanita
tersebut.
“Baik, hati-hati,” kata Rakanita tersebut dan aku mulai
berlalu ke arah ayahku berada.
“Dan satu lagi…,” sahut Rakanita tersebut kepadaku,
“tetaplah jadi seseorang yang punya pendirian. Jadi yang kuat dan jangan takut
akan apapun. Tetap sukses ke depannya dan saya tunggu kamu jadi junior saya di
kepengurusan BEM,” kata Rakanita tersebut sambil tersenyum. Aku membalas
senyuman Rakanita dan langsung pergi menghampiri tempat ayahku berdiri.
*******************
Yap, itulah beberapa sepenggal
pengalaman yang aku punya untuk kalian. Memang bukan cerita yang super duper wow hingga kalian harus baca
hingga akhir (tetapi kalau enggak sampai habis nanti enggak bisa baca kalimat
ini dong ya, hahaha). Jadi pesan saya
yang bisa di ambil dari cerita tersebut adalah jangan takut bersuara. Jika kamu
merasa benar, maka utarakan kebenaran itu. Jika kamu merasa salah, maka kamu
harus meminta maaf dengan selapang dada mungkin.
Menjadi
generasi baru itu tidak mudah. Mereka memiliki tanggung jawab yang lebih dalam
mengubah dunia. Jangankan mengubah dunia terlebih dahulu. Coba kalian ubah sesuatu
kesalahan yang sudah terbiasa dianggap benar di muka bumi ini, sulit bukan?
Setidaknya
walaupun kalian tidak bisa mengubah semuanya, kalian bisa berbicara kepada
setiap orang kalau hal itu salah. Kalian bisa mengutarakan semua kebenaran yang
menurut aturan, norma, dan adat disetiap kota kalian. Saya yakin, setelah
kalian mengutarakan itu maka kalian akan melakukan hal-hal kebaikan yang kalian
utarakan walaupun itu sedikit sulit. Setidaknya perubahan perlahan itu baik
kan?
The
End
*****************************
Cerita ini hanya fiktif belakang dengan penambahan
motivasi dan pesan yang bermanfaat untuk para pembaca. Jika ada kesamaan
lokasi, tempat, suasan, atau bahkan tokoh, itu hanya ketidak sengajaan yang
fatal. Terima Kasih
Komentar
Posting Komentar