Surat Terbuka untuk Bapak yang (Sudah) Jadi Presiden
Assalamualaikum Wr.Wb
Teruntuk Bapak Joko Widodo, di tempat.
Sebelumnya Saya ingin memperkenalkan diri, Pak. Saya Palupi Krakatao seorang mahasiswi di salah satu Politeknik kesehatan di Jakarta.Tapi bukan itu, saya menulis surat ini bukan atas nama mahasiswa, melainkan sebagai rakyat yang sejak lama berharap negerinya bisa pulih kembali.
Bapak Joko Widodo yang terhormat, sebelum saya masuk pada inti yang ingin saya sampaikan, harus saya sampaikan terlebih dahulu bahwa saya mengagumi bapak. Bukan pak, bukan agar surat ini bapak baca, tapi begitulah adanya. Awalnya saya tidak terlalu memperhatikan sosok pemimpin kecuali presiden, saya tidak pernah berniat mencari lebih dalam informasi mengenai gubernur ataupun sebagainya. Tapi semenjak hari itu, hari di mana saya melihat bapak di televisi, ketertarikan saya untuk terlibat menjadi rakyat yang aktif menjadi timbul. Saat itu saya lihat betapa bapak diidolakan, betapa kinerja bapak dipuji, betapa sederhananya bapak yang mau menjamah pasar dan pemukiman kumuh. Ya, betul, Pak. Saat itu pula saya ingin mencari lebih jauh. Siapa bapak?
Kini, berita tentang bapak sebagai gubernur Jakarta telah berganti menjadi berita tentang majunya bapak menjadi Capres. Jujur pak, saya kecewa. Saya kira bapak cukup bertanggung jawab untuk menyelesaikan tugas mulia di Jakarta ini, tapi ternyata saya salah. Sekali lagi, Pak. Saya kecewa.
Tapi saya mahasiswa, Pak, saya diajarkan untuk berpikir logis dan kritis, maka saya gunakan ilmu tersebut untuk berpikir, "Kenapa bapak melakukan ini?" dan Alhamdulilah saya menemukan jawabannya, dan semoga saya tidak salah.
Saat itu saya mencoba memosisikan diri saya menjadi bapak, lalu setelah saya merenung. Entah kenapa hati saya berkata, "Ah kalau saya jadi Jokowi, masa iya saya tolak kesempatan memimpin negara? Kesempatan langka. Tapi saya harus meninggalkan tanggung jawab saya sebagai gubernur" Lalu saya merenung lagi... "Oh tidak, itu bukan meninggalkan tanggung jawab (menurut saya kalau itu), saya ini ingin membangun Indonesia. Jika Indonesia saja bisa saya bangun, apalagi Jakarta." kurang lebihnya begitu, Pak... Entah, mungkin itu salah satu yang jadi pertimbangan bapak juga (mungkin). Lalu yang kedua, dalam hati saya berkata, "Saya tahu persis siapa diri saya, saya tahu sejauh mana kemampuan saya, saya yakin ini adalah kesempatan untuk mengabdi." itu alasan lain (mungkin). Terlintas juga di benak saya, "Waduh atasan yang meminta, segan saya untuk menolak."
Iya pak, mungkin bapak sama seperti saya, tipe orang yang tidak bisa menolak jika diberi kepercayaan bukan? Bukan untuk popularitas, harta, atau apalah itu tapi satu-satunya kita senang menjadi berguna untuk orang lain. Begitu tidak, Pak? Semoga saya tidak salah.
Itulah, Pak, secara keseluruhan saya mendukung bapak. Tapi pak, kita hanya manusia yang bisa berencana tetap Tuhanlah yang maha menentukan. Baik atau buruk seorang pemimpin salah satu tolak ukurnya adalah kedekatannya kepada sang pencipta. Dan itu pak, itu yang tidak bisa diukur oleh manusia. Saya berharap bapak mengerti maksud saya.
Maaf pak terlalu panjang dan bertele-tele, tapi itulah saya, Pak. Saya bawel. Yang tadi itu baru pengantar, Pak, saya belum masuk pada inti yang mau saya sampaikan. Begini pak, saya tahu bahwasannya sampai kapanpun kita tidak bisa mendapat pemimpin yang sempurna, karena memang kodrat kita sebagai manusia tempatnya salah dan lupa.Tapi pak, ada hal lain yang bisa menjadi tolak ukur untuk menilai seorang pemimpin, yaitu dari sikap, perilaku, akhlaknya. Sayang sekali kita tidak saling mengenal, atau lebih tepatnya hanya saya yang mengenal bapak, tidak sebaliknya. Tapi sayang sekali juga pak, saya hanya bisa mengenal bapak melalui berita, surat kabar, dan internet yang artinya saya hanya bisa melihat sosok luar bapak, saya tidak bisa menilai akhlak bapak karena tentulah siapapun akan bersikap dan berperilaku sesempurna mungkin saat di hadapan media. Bukan begitu, Pak? Iya, saya yakin jawabannya iya. Tapi perlu dicatat pula, Pak. Saya tahu tidak semua orang seperti demikian, tidak semua orang hanya pencitraan saja, dan entah kenapa saya yakin bapak bukan orang yang seperti saya jabarkan tadi (semoga).
Pak, 18 tahun sudah saya tinggal di Indonesia dan begitu banyak kejadian memilukan yang saya alami sendiri maupun yang saya lihat terjadi pada orang lain. Pernah suatu ketika saya berpikir, "Ya Tuhan, saya lelah melihat kondisi seperti ini. Kelak saya dewasa, izinkan saya memperbaiki Indonesia." Sayangnya itu pikiran saya waktu masih SMP pak, saat itu saya belum paham bahwa memperbaiki Indoneaia itu bukan hal yang mudah. Tapi di situlah point pentingnya pak! Pada kata tidak mudah, mengandung arti bahwa ini bukan hal yang tidak mungkin. Benar kan, Pak? Tapi lagi-lagi sangat disayangkan, saya perempuan, Pak. Banyak orang bilang bahkan agama pun mengatakan bahwa pemimpin itu laki-laki. Oleh karena itu saya hanya bisa menggantungkan harapan saya pada orang lain, dan mungkin untuk saat ini orang itu adalah bapak. Saya ingin sekali jadi presiden, buktinya Ibu Megawati bisa tapi tidak untuk saat ini pak, saya lebih memilih untuk menjadi rakyat yang mendukung penuh siapapun pemimpinnya, mendoakan kesejahteraan untuk bangsanya, dan meyakini bahwa saya bisa berguna tanpa harus menjadi seorang presiden. Tentu pak, saya menggantungkan harapan itu kepada sosok yang masih samar, sosok yang belum kita ketahui siapa yang akan menjadi pemimpin 5 tahun ke depan.
Jika dijabarkan tentulah sangat banyak tuntutan rakyat yang harus bapak penuhi (jika bapak terpilih). Tapi itulah, Pak, jadikan itu pacuan untuk semangat dan berjanjilah jangan pada kami, berjanjilah pada diri bapak sendiri bahwa bapak tidak ingin melihat rakyat kecewa. Pertama, masalah terbesar negara kita apa, Pak? Kemiskinan kah? Ada yang lebih parah dari itu? Jujur saya tidak tahu. Tapi yang saya tahu itulah masalahnya. Masalah awal dari masalah-masalah lainnya. Saya rasa rakyat juga tahu bahwa satu orang kepala negara tidak serta langsung bisa memakmurkan "seluruh" rakyatnya, tapi yang saya tahu selalu ada jalan keluar dalam setiap permasalahan. Apa jalan keluarnya? Tanpa saya harus memberi masukan, saya yakin bapak sudah memikirkannya (semoga).
Lalu kedua, korupsi, Pak. Sedih saya. Malu pak, sama gelar yang berentet itu. Ilmu mereka luas, mereka pintar, tapi sayang, pengetahuan agama mereka cetek. Maaf, pak, saya harus bilang begini, sekali lagi saya katakan saya kecewa. Apakah mereka tidak tahu dosa? Apakah saat di bangku sekolah dasar mereka tidak diajarkan untuk tidak merebut yang bukan haknya? Apakah mereka tidak puas dengan harta yang membuatnya bisa berpakaian mewah, turun naik mobil mewah, tidur nyenyak tanpa harus berpikir dari mana uang untuk makan besok, melenggang ke luar negeri berfoto bak artis papan atas lalu mengupload ke media sosial, tanpa malu bahwa di negaranya sudah dicap sebagai koruptor? Apakah mereka pernah memikirkan rakyat yang mati kelaparan di sela makan siangnya dengan kolega di hotel bintang lima? Apakah mereka pernah memikirkan keluarga yang lontang-lantung di jalanan tanpa pernah tahu sampai kapan hal ini berlangsung. Oh Tuhan, mungkin saya salah menyampaikan karena bapak bukan koruptor. Tapi siapa tahu, para jajaran bapak kelak bisa membaca ini (siapa tahu). Banyak, pak, yang harus dibenahi dari Indonesia, sampai hati saya menangis membayangkannya.
Pak, besar harapan saya terhadap bapak. Terlepas dari masalah pencalonan presiden, saya mau melihat bapak melakukan sesuatu.Terpilih atau tidaknya bapak nanti, saya mau melihat bapak tetap rendah hati. Menjadi apapun bapak, semoga saya tidak kehilangan sosok sederhana yang belakangan ini menghiasi layar televisi saya. Sekian pak, saya tidak mengagumi bapak berlebihan. Saya hanya ingin bapak menyadari bahwa ada, Pak. Ada yang menaruh harapan besar kepada bapak.
Terimakasih pak.
Salam hormat, Palupi Krakatao.
Sebelumnya Saya ingin memperkenalkan diri, Pak. Saya Palupi Krakatao seorang mahasiswi di salah satu Politeknik kesehatan di Jakarta.Tapi bukan itu, saya menulis surat ini bukan atas nama mahasiswa, melainkan sebagai rakyat yang sejak lama berharap negerinya bisa pulih kembali.
Kini, berita tentang bapak sebagai gubernur Jakarta telah berganti menjadi berita tentang majunya bapak menjadi Capres. Jujur pak, saya kecewa. Saya kira bapak cukup bertanggung jawab untuk menyelesaikan tugas mulia di Jakarta ini, tapi ternyata saya salah. Sekali lagi, Pak. Saya kecewa.
Tapi saya mahasiswa, Pak, saya diajarkan untuk berpikir logis dan kritis, maka saya gunakan ilmu tersebut untuk berpikir, "Kenapa bapak melakukan ini?" dan Alhamdulilah saya menemukan jawabannya, dan semoga saya tidak salah.
Saat itu saya mencoba memosisikan diri saya menjadi bapak, lalu setelah saya merenung. Entah kenapa hati saya berkata, "Ah kalau saya jadi Jokowi, masa iya saya tolak kesempatan memimpin negara? Kesempatan langka. Tapi saya harus meninggalkan tanggung jawab saya sebagai gubernur" Lalu saya merenung lagi... "Oh tidak, itu bukan meninggalkan tanggung jawab (menurut saya kalau itu), saya ini ingin membangun Indonesia. Jika Indonesia saja bisa saya bangun, apalagi Jakarta." kurang lebihnya begitu, Pak... Entah, mungkin itu salah satu yang jadi pertimbangan bapak juga (mungkin). Lalu yang kedua, dalam hati saya berkata, "Saya tahu persis siapa diri saya, saya tahu sejauh mana kemampuan saya, saya yakin ini adalah kesempatan untuk mengabdi." itu alasan lain (mungkin). Terlintas juga di benak saya, "Waduh atasan yang meminta, segan saya untuk menolak."
Iya pak, mungkin bapak sama seperti saya, tipe orang yang tidak bisa menolak jika diberi kepercayaan bukan? Bukan untuk popularitas, harta, atau apalah itu tapi satu-satunya kita senang menjadi berguna untuk orang lain. Begitu tidak, Pak? Semoga saya tidak salah.
Pak, 18 tahun sudah saya tinggal di Indonesia dan begitu banyak kejadian memilukan yang saya alami sendiri maupun yang saya lihat terjadi pada orang lain. Pernah suatu ketika saya berpikir, "Ya Tuhan, saya lelah melihat kondisi seperti ini. Kelak saya dewasa, izinkan saya memperbaiki Indonesia." Sayangnya itu pikiran saya waktu masih SMP pak, saat itu saya belum paham bahwa memperbaiki Indoneaia itu bukan hal yang mudah. Tapi di situlah point pentingnya pak! Pada kata tidak mudah, mengandung arti bahwa ini bukan hal yang tidak mungkin. Benar kan, Pak? Tapi lagi-lagi sangat disayangkan, saya perempuan, Pak. Banyak orang bilang bahkan agama pun mengatakan bahwa pemimpin itu laki-laki. Oleh karena itu saya hanya bisa menggantungkan harapan saya pada orang lain, dan mungkin untuk saat ini orang itu adalah bapak. Saya ingin sekali jadi presiden, buktinya Ibu Megawati bisa tapi tidak untuk saat ini pak, saya lebih memilih untuk menjadi rakyat yang mendukung penuh siapapun pemimpinnya, mendoakan kesejahteraan untuk bangsanya, dan meyakini bahwa saya bisa berguna tanpa harus menjadi seorang presiden. Tentu pak, saya menggantungkan harapan itu kepada sosok yang masih samar, sosok yang belum kita ketahui siapa yang akan menjadi pemimpin 5 tahun ke depan.
Lalu kedua, korupsi, Pak. Sedih saya. Malu pak, sama gelar yang berentet itu. Ilmu mereka luas, mereka pintar, tapi sayang, pengetahuan agama mereka cetek. Maaf, pak, saya harus bilang begini, sekali lagi saya katakan saya kecewa. Apakah mereka tidak tahu dosa? Apakah saat di bangku sekolah dasar mereka tidak diajarkan untuk tidak merebut yang bukan haknya? Apakah mereka tidak puas dengan harta yang membuatnya bisa berpakaian mewah, turun naik mobil mewah, tidur nyenyak tanpa harus berpikir dari mana uang untuk makan besok, melenggang ke luar negeri berfoto bak artis papan atas lalu mengupload ke media sosial, tanpa malu bahwa di negaranya sudah dicap sebagai koruptor? Apakah mereka pernah memikirkan rakyat yang mati kelaparan di sela makan siangnya dengan kolega di hotel bintang lima? Apakah mereka pernah memikirkan keluarga yang lontang-lantung di jalanan tanpa pernah tahu sampai kapan hal ini berlangsung. Oh Tuhan, mungkin saya salah menyampaikan karena bapak bukan koruptor. Tapi siapa tahu, para jajaran bapak kelak bisa membaca ini (siapa tahu). Banyak, pak, yang harus dibenahi dari Indonesia, sampai hati saya menangis membayangkannya.
Komentar
Posting Komentar