Jiwa Putih Kosong
Itu kata-kata yang kudapatkan dari cerita
gadis asing yang kutemui saat aku tersesat di suatu tempat.
Hari itu siang yang terik dan aku sedang memutari
mal ramai bersama teman-temanku. Di tengah canda tawa mereka, perhatianku beralih
pada seseorang berjaket tudung hitam yang terlihat sedang makan roti sendirian
di ujung kios baju. Aku menghentikan langkahku sejenak untuk melihatnya dengan
teliti. Pakaiannya serba hitam dan wajahnya tidak terlihat karena ia makan
sambil menunduk. Akan tetapi, auranya tajam, seperti tidak ingin didekati
siapapun dan menolak berinteraksi.
Aku tidak tahu mengapa kakiku melangkah
mendekatinya, mengabaikan seruan teman-temanku yang memintaku mengikuti mereka
ke toko olahraga yang menjadi tempat tujuan kami karena sama-sama butuh sepatu
baru. Kini tanpa kusadari, aku sudah berdiri di hadapannya, menghalangi cahaya
lampu redup yang menyinarinya. Bayanganku membuatnya mendongak untuk melihat
siapa yang menghalangi penerangannya.
Seorang gadis. Manik matanya hitam dan
sorot matanya sungguh tajam hingga terasa menusukku. Raut wajahnya yang lusuh
melempar tatapan sinis karena aku mengganggunya makan. Tidak ada sepatah kata
pun darinya, tapi dari sorot matanya aku tahu, dia ingin aku pergi. Hanya saja,
aku tidak mau pergi. Aku tertarik padanya. Bukan karena tampilannya yang lusuh
atau aku kasihan padanya, melainkan sorot matanya tadi. Jika dia gelandangan,
sorot matanya takkan setajam itu, takkan seyakin itu.
Aku memutar otakku untuk mencari
jawabannya, tapi kemungkinannya terlalu banyak. Merasa terganggu dengan
keberadaanku, apalagi aku menatapnya dengan intens, dia berdiri dengan cepat
lalu berjalan menjauh. Aku tidak terima ditinggal tanpa respon seperti itu.
Padahal di sekolah, tidak ada yang bisa berjalan meninggalkanku begitu saja,
tapi dia tampak tidak peduli dengan diriku yang tampan ini.
Karena itu, aku mengikutinya dari
kejauhan. Seketika, aku lupa berada di tempat itu bersama teman-temanku. Aku
bahkan lupa tujuanku ke mal ini untuk apa. Perhatianku teralih sepenuhnya pada
gadis bersorot mata tajam itu.
Dia berjalan santai, mungkin tidak
menyadari aku mengikutinya dari belakang. Kedua tangannya masuk ke saku jaket
hitamnya, kepalanya menunduk, dan kedua kakinya melangkah dengan percaya diri.
Aku hanya fokus mengikutinya hingga aku sadar telah berjalan jauh ke tempat
yang tidak kukenali. Sebuah tempat kumuh yang dipenuhi anak-anak kecil
berlarian.
Yang kupikirkan saat itu, aku hanya bisa
meminta gadis itu membawaku ke mal lagi, sebab aku tidak memperhatikan jalan.
Jadi, aku berlari untuk mengejarnya yang berjalan semakin jauh. Saat aku hendak
membuatnya berbalik padaku, gadis itu membalikkan tubuhnya seraya mengacungkan cutter
yang mendarat tepat di hidungku.
Sontak, aku mengangkat kedua tanganku, seolah
tahanan. Mataku membelalak kaget menatap cutter di depan hidungku. Aku
mengikuti tangan itu dan mendapati sorot mata tajam yang sama seperti saat awal
aku melihatnya.
"Jingga."
Satu kata meluncur dari mulutnya, suara
seraknya mengimbangi tatapannya yang menusuk, dan terutama, satu kata yang
tidak kupahami. Jingga? Maksudnya apa?
"Jiwamu warna jingga," ucapnya
pelan sembari menurunkan cutter dari hadapanku. "Kepercayaan dirimu
tinggi, memiliki rasa penasaran yang berlebih, dan mudah bergaul, tapi, kau
terlalu percaya diri sehingga bisa membuatmu celaka suatu hari."
Rasanya ada peluru yang menembak jantungku
setelah ia mengatakannya. Tepat sasaran. Di pertemuan pertama, dia bisa menebak
diriku?
"Semua orang punya warnanya
masing-masing, termasuk anak-anak itu," pandangannya beralih pada
anak-anak kecil yang berlarian di depan rumah kayu kumuh. "Tapi, di umur
sekecil mereka, belum ada warna tetap. Bagiku, mereka hanya warna putih kosong
yang harus diberi warna oleh orang dewasa. Aku menyebutnya jiwa putih kosong...
tanpa tujuan, tanpa kepribadian pasti, dan penuh keraguan.
"Warna jinggamu itu juga belum warna
pasti. Warnamu masih warna yang diberikan oleh orang-orang sekitarmu, sehingga
mudah pudar. Jika ada orang lain yang memberikanmu warna yang berbeda, itu akan
menodaimu dan menjadikanmu warna keruh tak berarti. Sekarang kuberi kau
pertanyaan, selama ini kau pikir warnamu apa? Warna apa yang ingin kau berikan
pada dirimu sendiri? Warna apa saja yang akan kamu terima dari orang
lain?"
Gadis itu menolehkan kepalanya, mengambil
satu langkah untuk mendekatiku, lalu ia berhenti 10cm di depan wajahku. Aku
menelan ludah, kaki kananku melangkah mundur untuk menjaga keseimbangan, dan
kedua tanganku turun ke depan dadaku untuk pertahanan diri.
"Untuk laki-laki, kau ini penakut,
ya?" Gadis itu membuka tudung jaketnya, memperlihatkan rambut hitam pendek
sebahunya dan seringai licik yang terlukis di wajahnya kini.
Tanpa sadar aku mengambil langkah mundur. "H--hei,
jiwa putih kosong itu... boleh kutahu kenapa kau menyebutnya dengan nama
itu?" tanyaku penuh hati-hati.
Salah satu ujung bibirnya tertarik ke
atas, membentuk senyum sinis. Senyumnya membuatku merinding hingga mengambil
selangkah mundur lagi. Terlalu mencekam. Auranya itu, terlalu suram.
"Jiwa putih kosong itu... adalah masa
anak-anak. Perlahan kamu akan menerima banyak warna dari orang lain. Tapi, biar
kuberitahu ini padamu, meskipun kamu menerima warna dari orang lain, kamu
berhak memilih warna apa yang akan kamu berikan pada dirimu sendiri. Warnamu
saat ini adalah warna pemberian orang lain, hanya sisi luar dari dirimu saja.
Artinya, kau membiarkan orang lain berpikir kau jingga, sementara dirimu yang
asli masih putih kosong.
"Itu berarti... kau masih hidup untuk
orang lain, bukan untuk dirimu. Jika kau biarkan, warnanya akan memudar dan
menjadi tidak menentu. Entah putih keruh, abu-abu, atau lebih buruk..."
kata-katanya terhenti. Dia kembali menusuk jantungku dengan sorot mata tajamnya
itu. "…hitam."
Tidak masuk akal. Kata-katanya... terlalu
tidak masuk akal. Aku tidak mengerti. Tanpa sadar aku menunduk melihat ujung
sepatu gadis itu yang lusuh dan tampak rusak. Ketika aku melihat ujung sepatuku
sendiri, masih sangat bagus, bahkan bersih. Mendadak aku ingat tujuanku ke mal.
Untuk membeli barang-barang mewah lainnya bersama teman-temanku meskipun belum
terlalu membutuhkannya. Bisa dibilang, aku butuh sepatu baru untuk dipamerkan
ke teman-teman yang lain, supaya aku tetap bisa diterima di lingkungan
sekolahku itu.
"Untuk apa kau hidup? Apa tujuanmu
berada di sini? Untuk mereka? Untuk orang lain di dunia yang bahkan tidak
memedulikan hidupmu? Untuk orang-orang tidak tahu diri itu? Katakan padaku,
warna apa yang ingin kau miliki?"
Dia... tahu semuanya?
Meskipun aku tidak mau mengakuinya, selama
ini aku menampilkan diriku yang percaya diri untuk orangtua dan teman-temanku.
Aku tidak ingin dipandang rendah, aku ingin disukai banyak orang, dan paling
penting, aku tidak mau dibuang oleh orangtuaku seperti sampah.
Mungkinkah itu maksud dari warnaku adalah
warna pemberian orang lain? Karena aku tidak jujur pada orang lain? Atau...
karena aku tidak jujur pada diriku sendiri?
"Kamu harus segera pilih warnamu
sendiri. Jika kamu terus menerima pemberian warna orang lain dengan kertas
putih polos, semuanya akan bertabrakan, berantakan, dan menjadi warna yang
gelap. Jika warnamu terlanjur hitam kelam, tidak ada yang bisa menjamin
penggantian warnanya selain dirimu sendiri."
Kalimat terakhirnya terdengar seperti
ultimatum. Kalimat terakhirnya menembak jantungku lagi dengan tepat. Namun,
kalimat terakhir itu juga memiliki makna tersirat. Sebagaimana aku merasakan
aura suram darinya, sebagaimana aku terus mendapat sorot mata hitam tajamnya
itu, aku memperkirakan warnanya. Kalimat terakhirnya kini terdengar seperti
tanda peringatan untuk diriku... agar tidak menjadi seperti dirinya sendiri.
"Pilih warnamu sendiri, maka kau bisa
menentukan jalanmu sendiri. Berapa kalipun kau tersesat, asal memiliki warna
dan cahayamu sendiri, kau pasti akan bisa menemukan jalanmu," ucapnya
sembari membalikkan badan dan melangkahkan kakinya menjauh dariku.
Aku mengulurkan tanganku hendak menariknya
kembali. "T-tu-tunggu! Aku ingin minta tolong....!" Langkahnya
terhenti ketika mendengar seruanku. "Antar aku kembali ke mall. Aku... tidak
tahu jalannya," ucapku dengan suara gemetar.
Gadis itu menutup kepalanya kembali dengan
tudung jaketnya. "Aku sudah memberimu petunjuk. Berikutnya, kau tentukan
sendiri." Hanya dengan itu, gadis itu berlari dengan cepat menuju ujung
terowongan lain dan kakiku tidak mau bergerak untuk mengejarnya lebih jauh.
Tidak membantu. Jawabannya sangat tidak
membantu. Aku jelas-jelas tersesat di tempat baru yang kumuh ini. Terowongan
yang penuh genangan air dan sampah, suara kendaraan yang tidak terdengar, dan sinar
matahari yang menyinari kedua lorong terowongan pendek ini sangat tidak
kukenali lokasinya.
Terlebih lagi... ponselku dipinjam mereka.
Aku tidak bisa melakukan apapun.
Seketika aku merasa putus asa, tidak
berdaya, dan ingin kabur. Namun, tiba-tiba sebuah suara masuk ke kepalaku.
Ah... itu suara gadis tadi. Semua penjelasan panjangnya yang tidak masuk akal
tadi mulai menghampiri ingatanku. Lalu, kata-kata terakhirnya sebelum pergi
meninggalkanku kini terdengar lebih jelas daripada suara lain.
...benar. Dia sudah memberikanku petunjuk.
Aku yang terlalu bodoh untuk menyadarinya. Setelah menguatkan diri, aku berdiri
tegap dan siap mencari jalan pulang. Baiklah. Aku akan memilih warnaku sendiri.
Aku tidak akan membiarkan orang lain terus memberiku warna baru. Aku akan
mewarnai hidupku dengan warna yang indah. Dengan kata lain, aku harus membuat
jalan hidupku sendiri.
Pada akhirnya, aku memang berhasil
menemukan jalan dan kembali ke mal. Aku juga berhasil menemukan teman-temanku
dan memilih langsung pulang bersama supirku. Di perjalanan pulang dengan mobil
pribadi yang dikemudikan supir, aku terus memikirkan kata-katanya sembari
melihat jalanan dan mobil yang saling berlalu-lalang. Memang, kini aku mengerti
maksudnya tapi, hanya satu yang ingin kukoreksi dari kata-katanya.
Membiarkan warna pemberian orang lain
bertabrakan di kertas putih polos memang salah, tapi jika membiarkan warna
pemberian orang lain itu kertas yang berbeda-beda dan menyeleksi mana yang
tepat untuk diri sendiri, bukankah jauh lebih bijaksana? Dengan begitu, kita
tidak perlu hanya memiliki satu warna, kita bisa memiliki banyak warna.
Lagipula... manusia harus hidup bersama orang lain dan warna mereka semuanya
berbeda dan unik.
Di lain waktu jika aku bertemu dengannya lagi, aku akan mengoreksi kata-katanya. Meskipun aku ingin... aku tidak bisa menemukannya di tempat terakhir kali aku bertemu dengannya. Seolah ia muncul hanya ingin memberiku pelajaran. Pelajaran mengenai jiwa putih kosong yang awalnya tidak masuk akal bagiku, kini menjadi salah satu hal terpenting dalam hidupku.
Karya Sativa Pradnya Swasti Farmasi'20
Komentar
Posting Komentar